Daftar Laporan Praktikum Fisiologi Hewan:
Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Pengaruh Insektisida Terhadap Kerja Syaraf Serangga
Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Sistem Kardiovaskuler
Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Pengaruh Suhu Terhadap Gerakan Operkulum
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nyamuk merupakan vektor yang sangat berperan dalam penularan berbagai penyakit, di antaranya malaria, demam berdarah dengue (DBD) dan chikungunya. Di dunia, penyakit malaria setidaknya telah membunuh 627 ribu orang, sedangkan DBD telah menjangkit 50-100 juta jiwa per tahun dengan kematian mencapai 20 ribu jiwa. Di Asia Tenggara penyebaran penyakit ini terus mengalami peningkatan penyebaran (WHO, 2012 dalam Yatuu et al., 2020). Salah satu cara pengendalian terhadap penyakit DBD adalah dengan menggunakan bahan yang mengandung senyawa kimia yang disebut sebagai insektisida. Adapun pemutusan rantai penyebaran vektor dapat dilakukan pada fase larva atau yang disebut sebagai larvasida. Akan tetapi, penggunaan insektisida memiliki sejumlah efek samping (Giroth et al., 2021).
Efek samping yang ditimbulkan oleh penggunaan bahan kimia sebagai larvasida menjadikan penggunaan bahan alami sebagai larvasida cukup dipertimbangkan oleh masyarakat, salah satunya yaitu serai (Cymbopogon nardus L.) menurut Nugraha et al., (2019) Serai wangi diketahui memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder yang bermanfaat sebagai insektisida nabati. Kandungan sereh yang bermanfaat secara implisit telah tertuang dalam Al-Quran surah Asy-Syu’ara ayat 7 yang berbunyi:
Artinya: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, betapa banyak Kami tumbuhkan di bumi itu berbagai macam pasangan (tumbuh-tumbuhan) yang baik?”
Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa Allah telah menciptakan tumbuh-tumbuhan yang memiliki berbagai manfaat untuk kehidupan di bumi, salah satunya yaitu kandungan serai yang bermanfaat sebagai larvasida. Oleh karena itu, praktikum ini penting untuk dilakukan sehingga kita dapat mengetahui bagaimana pengaruh dari daun sereh terhadap larva nyamuk. Selain itu, melalui praktikum ini diharapkan juga dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT karena dengan melakukan pengkajian terhadap ciptaanNya merupakan salah satu bentuk dalam membuktikan keagungan-Nya.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari praktikum ini yaitu bagaimanakah data dan pengaruh dekok daun sereh (Cymbopogon nardus) terhadap perkembangan larva nyamuk?
1.3 Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini yaitu mahasiswa dapat menunjukkan data dan menjelaskan pengaruh dekok daun sereh (Cymbopogon nardus) terhadap perkembangan larva nyamuk.
BAB II METODE PRAKTIKUM
2.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan selama 14 hari, dimulai dari tanggal 15 Oktober 2021 sampai dengan tanggal 29 Oktober 2021. Praktikum dilaksanakan via zoom meeting dan di rumah praktikan.
2.2 Alat dan Bahan
2.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu:
- Kompor (1 buah)
- Panci (1 buah)
- Saringan (1 buah)
- Beaker glass (6 buah)
- Pengaduk kaca (1 buah)
- Thermometer (1 buah)
2.2.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu:
- Daun sereh (Cymbopogon nardus) (100 gram)
- Aquadest (Secukupnya)
- Larva nyamuk (120 ekor)
2.3 Langkah Kerja
Cara kerja dalam praktikum ini yaitu sebagai berikut.
Pembuatan dekok daun sereh:
- Sebanyak 100 gram daun sereh dicuci dengan air mengalir, kemudian dikering-anginkan.
- Daun sereh direbus dalam 1 L aquadest hingga mendidih dan daun layu.
- Rebusan daun sereh didinginkan kemudian disaring.
Pengujian dekok daun sereh terhadap larva :
- Dibuat larutan dekok daun sereh dengan konsentrasi 0%, 20%, 40%, 60%, 80%, dan
100%, masing-masing dibuat dalam beaker glass yang telah diberi label dengan
penambahan aquadest sampai volume 50 ml. - Larutan diukur temperaturnya antara 20-30°C.
- Setiap beaker glass diisi 20 ekor larva.
- Diamati dan dihitung jumlah larva yang mati setelah 24 jam.
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Hasil dalam praktikum ini ditunjukkan dalam tabel berikut:
No. | Konsentrasi Larutan Dekok Sereh | Foto Pengamatan Larva Selama 24 Jam | Sisa larva | Nyamuk yang Terbentuk | |
Hidup | Mati | ||||
1. | 0% | 16 | 4 | 5 | |
2. | 20% | 20 | 0 | 1 | |
3. | 40% | 19 | 1 | 2 | |
4. | 60% | 20 | 0 | 3 | |
5. | 80% | 17 | 3 | 1 | |
6. | 100% | 13 | 7 | 2 |
3.2 Pembahasan
Konsentrasi 0%
Pengamatan yang dilakukan selama 24 jam pada dekok sereh dengan konsentrasi 0% menunjukkan bahwa ditemukan 16 ekor larva nyamuk yang masih hidup, 5 di antaranya telah memasuki fase selanjutnya yaitu fase pupa. Selain itu, ditemukan juga sebanyak 4 ekor larva yang mati. Kematian pada larva dengan konsentrasi dekok sereh 0% tidak seharusnya terjadi, karena tidak ada senyawa dalam air dengan konsentrasi dekok sereh 0% yang dapat
menyebabkan kematian pada larva.
Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Yatuu et al., (2020) bahwa pada kelompok kontrol dengan persentase 0% tidak ditemukan adanya larva yang mati pada semua pengulangan, hal ini di sebabkan pada kelompok kontrol, larva hanya diberi aquadest tanpa campuran perasan daun serai dapur. Pada hasil yang didapatkan tidak terdapat larva yang mati sehingga aquadest dianggap tidak memiliki sifat larvasida. Oleh karena itu, kematian pada 4 ekor larva diduga disebabkan oleh kesalahan teknis dari praktikan dalam proses pemindahan larva ke botol dan dalam proses pengamatannya yang dilakukan dengan tidak hati-hati, hal ini terlihat dari ditemukannya struktur bagian kepala larva yang terpisah dari badan pada larva yang mati. Selain itu, menurut Makkiah (2020) Kriteria larva mati akibat insektisida yaitu jika larva tidak bergerak dan tidak memberikan respons saat disentuh, bukan kerusakan pada struktur tubuh seperti yang terjadi pada penelitian ini.
Konsentrasi 20%
Pengamatan yang dilakukan selama 24 jam pada dekok sereh dengan konsentrasi 20% menunjukkan bahwa ditemukan 20 ekor larva nyamuk yang masih hidup, 1 di antaranya telah memasuki fase selanjutnya yaitu fase pupa. Selain itu, tidak ditemukan larva yang mengalami kematian. Hal ini menunjukkan bahwa pada dekok sereh konsentrasi 20% tidak efektif dalam membunuh larva nyamuk. Pada tahap ini, proses pemindahan dan pengamatan larva sudah lebih dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak ditemukan struktur tubuh larva yang rusak.
Konsentrasi 40%
Pengamatan yang dilakukan selama 24 jam pada dekok sereh dengan konsentrasi 40% menunjukkan bahwa ditemukan 19 ekor larva nyamuk yang masih hidup, 2 di antaranya telah memasuki fase selanjutnya yaitu fase pupa. Selain itu, ditemukan 1 larva yang mengalami kematian. Hal ini menunjukkan bahwa pada dekok sereh konsentrasi 40% belum cukup efektif dalam membunuh larva nyamuk.
Konsentrasi 60%
Pengamatan yang dilakukan selama 24 jam pada dekok sereh dengan konsentrasi 60% menunjukkan bahwa ditemukan 20 ekor larva nyamuk yang masih hidup, 3 di antaranya telah memasuki fase selanjutnya yaitu fase pupa. Selain itu, tidak ditemukan larva yang mengalami kematian. Hal ini menunjukkan bahwa pada dekok sereh konsentrasi 40% tidak efektif dalam membunuh larva nyamuk.
Konsentrasi 80%
Pengamatan yang dilakukan selama 24 jam pada dekok sereh dengan konsentrasi 80% menunjukkan bahwa ditemukan 17 ekor larva nyamuk yang masih hidup, 1 di antaranya telah memasuki fase selanjutnya yaitu fase pupa. Selain itu, ditemukan 3 larva yang mengalami kematian. Hal ini menunjukkan bahwa pada dekok sereh konsentrasi 80% lebih efektif dalam membunuh larva nyamuk dibandingkan dengan dekok sereh konsentrasi 0%, 20%, 40%, dan 60%.
Konsentrasi 100%
Pengamatan yang dilakukan selama 24 jam pada dekok sereh dengan konsentrasi 100% menunjukkan bahwa ditemukan 13 ekor larva nyamuk yang masih hidup, 2 di antaranya telah memasuki fase selanjutnya yaitu fase pupa. Selain itu, ditemukan 7 larva yang mengalami kematian. Hal ini menunjukkan bahwa pada dekok sereh konsentrasi 100% paling efektif dalam membunuh larva nyamuk dibandingkan dengan konsentrasi sebelumnya.
Kandungan Senyawa Dekok Daun Sereh
Sereh merupakan salah satu bahan alami yang diduga memiliki kandungan senyawa aktif sebagai larvasida yang dapat digunakan untuk membunuh larva nyamuk, pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian Rizqia et al., (2016) bahwa ekstrak daun sereh mengandung senyawa kimia alamiah yang dapat digunakan dalam upaya pengendalian dan pemberantasan vektor penyakit di antaranya minyak atsiri, saponin, steroid dan tanin yang bersifat insektisida. Selain, itu menurut Nuryadin, (2018) salah satu tanaman yang dapat yang berkhasiat sebagai obat dan mengandung flavonoid adalah serai. Daun serai mengandung saponin, tanin, alkaloid, dan flavonoid.
Kandungan kimia serai lebih banyak terdapat pada batang dan daun, dan kandungan yang paling besar yaitu sitronela sebesar 35% dan geraniol sebesar 35 – 40% (Nugroho, 2011). Berbagai jenis tumbuhan bisa dijadikan larvasida alami, di mana serai wangi (Cymbopogon nardus L) merupakan salah satunya yang dapat dimanfaatkan, kandungannya yang lebih banyak terdapat di bagian batang dan daun. Kandungan utamanya berupa citronella dan geraniol (Aulung et al., 2014 dalam Arcani et al., 2017).
Mekanisme Kerja Dekok Sereh dalam Membunuh Larva Nyamuk
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, ditemukan terdapat beberapa larva yang mengalami kematian. Adapun kematian pada larva nyamuk menurut berbagai penelitian yang telah dilakukan disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya yaitu:
Terdapat beberapa hormon yang berperan dalam metamorfosis pada larva nyamuk, di antaranya yaitu hormon otak, hormon molting (ekdison), dan hormon juvenil. Secara berkala sel-sel neurosekretori di dalam otak menggunakan suatu hormon otak (Ecdysiotropin), hormon ini merangsang kelenjar protoraks untuk menghasilkan ecdyson. Selanjutnya ecdyson ini merangsang pertumbuhan dan menyebabkan epidermis menggetahkan suatu kutikula baru yang menyebabkan dimulainya proses pengelupasan kulit (molting) (Andayanie et al., 2019).
Selain oleh pengaruh ecdyson, maka proses pengelupasan kulit dan pertumbuhan juga dipengaruhi oleh hormon juvenil, selama terdapat hormon juvenil rangkaian pengelupasan kulit yang terjadi di bawah pengaruh ecdyson itu hanyalah akan menghasilkan bentuk stadium tidak dewasa saja. Jika konsentrasi hormon juvenil relatif lebih tinggi daripada ecdyson maka akan merangsang perkembangan larva, dan mencegah proses pembentukan pupa, namun mencegah proses pembentukan larva (Andayanie et al., 2019).
Proses gagal molting diawali dengan masuknya senyawa metabolit sekunder yang memiliki sifat toksik masuk ke dalam organ pencernaan larva diserap oleh dinding usus, selanjutnya beredar bersama darah yang berupa sistem hemolimfa. Hemolimfa yang telah bercampur dengan senyawa toksik akan mengalir ke seluruh tubuh dengan membawa zat makanan dan senyawa toksik yang terdapat dalam insektisida. Senyawa bioaktif yang masuk melalui sistem pencernaan akan mengganggu proses fisiologis larva tersebut, di antaranya dapat mengganggu sistem enzim dan hormon (Muta’ali dan Purwani, 2015).
Senyawa yang diduga mempengaruhi proses molting adalah saponin, di mana saponin dapat mengikat sterol dalam saluran makanan yang akan mengakibatkan penurunan laju sterol dalam hemolimfa. Peran sterol sendiri adalah sebagai prekursor bagi hormon ekdison. Dengan adanya penurunan persediaan sterol, maka proses pergantian kulit atau molting juga akan terganggu (Muta’ali dan Purwani, 2015).
Kandungan flavonoid pada sereh menyerang beberapa organ saraf pada beberapa organ vital serangga, sehingga timbul suatu pelemahan saraf, seperti pernafasan dan timbul kematian (Dinata, 2009 dalam Muta’ali dan Purwani, 2015). Flavonoid bekerja sebagai inhibitor pernafasan. Inhibitor merupakan zat yang menghambat atau menurunkan laju reaksi kimia, flavonoid juga mengganggu mekanisme energi di dalam mitokondria dengan menghambat sistem pengangkutan elektron (Agnetha, 2008 dalam Muta’ali dan Purwani, 2015).
Tanin akan mengikat protein dalam sistem pencernaan yang diperlukan serangga untuk pertumbuhan sehingga diperkirakan proses pencernaan larva menjadi terganggu akibat zat tanin tersebut. Hasil yang menunjukkan kematian larva yang cukup banyak dan cukup cepat dalam kurun waktu 24 jam perlakuan disebabkan salah satunya oleh minyak atsiri yang mempunyai cara kerja yaitu dengan masuk ke dalam tubuh larva melalui sistem pernapasan yang kemudian akan menimbulkan kelayuan pada syaraf serta kerusakan pada sistem pernapasan dan mengakibatkan larva tidak bisa bernapas dan akhirnya mati (Muta’ali dan Purwani, 2015).
Citronella dalam serai bersifat toksin sehingga akan menyebabkan kematian larva sebab larva mengalami dehidrasi terus-menerus (Aulung et al., 2014 dalam Arcani et al., 2017). Selain itu, menurut Sastriawan (2014) dalam Yatuu et al., (2020), bahan aktif yang terkandung dalam daun serai dapur di antaranya yaitu sitronelal, sitronelol, geraniol, minyak atsiri. Oleh karena itu apabila senyawa-senyawa ini masuk ke dalam tubuh larva, maka alat pencernaan larva akan terganggu. Selain itu akan menghambat reseptor perasa pada daerah mulut larva. Hal ini dapat mengakibatkan larva gagal mendapatkan stimulasi rasa sehingga larva tidak mampu mengenali makannya, akibatnya larva mengalami kematian.
Selain diakibatkan oleh adanya kandungan kimia dari daun serai, kematian larva nyamuk juga disebabkan oleh adanya pengaruh tingkat konsentrasi. Pada kelompok konsentrasi uji di masing-masing konsentrasi yang telah di beri perlakuan di dapatkan hasil yang berbeda hal ini karena semakin rendah konsentrasi perasan maka tingkat kematian larva juga akan rendah, begitu pun sebaliknya jika konsentrasi perasan tinggi maka tingkat kematian larva juga akan semakin tinggi. semakin meningkatnya konsentrasi yang digunakan maka senyawa toksik yang bersifat racun yang masuk ke dalam tubuh larva akan terakumulasi semakin banyak sehingga mengakibatkan aktivitas hidup larva terganggu dan pada akhirnya menyebabkan kematian. (Yatuu et al., 2020).
Faktor Penyebab Kegagalan Kematian Pada Larva
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat kegagalan dalam proses kematian larva, khususnya pada dekok daun sereh dengan konsentrasi 20%, 40%, dan 60%. Pada dekok sereh konsentrasi 40% hanya ditemukan satu larva yang mengalami kematian, sedangkan pada dekok sereh konsentrasi 60% tidak ditemukan adanya larva yang mengalami kematian, padahal umumnya konsentrasi dekok sereh berbanding lurus dengan kematian larva. Hal ini, sesuai dengan penelitian Yatuu et al., (2020) bahwa semakin rendah konsentrasi sereh maka tingkat kematian larva juga akan rendah, begitu pun sebaliknya jika konsentrasi sereh tinggi maka tingkat kematian larva juga akan semakin tinggi.
Diduga terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan tersebut, di antaranya yaitu perbedaan usia dan tahapan proses fotosintesis larva yang digunakan, dalam penelitian tidak dilakukan pembatasan terhadap usia atau tahapan larva, padahal menurut Yattu et al., (2020) sereh dapat menyebabkan kematian larva nyamuk instar II karena larva instar II lebih mudah mati, hal ini diakibatkan karena larva instar II kekebalan tubuhnya masih lemah dibandingkan dengan larva instar III, selain itu larva yang semakin tua akan memiliki lapisan kulit larva yang lebih tebal dibandingkan dengan tahapan larva sebelumnya, sehingga larva yang berusia lebih tua akan lebih tahan terhadap berbagai insektisida. Selain itu, menurut Nugroho, (2011) stadium larva sangat mempengaruhi reaksi terhadap zat toksik, maka dalam penelitian ini digunakan larva instar III dan IV, pada umur tersebut larva Aedes aegypti sudah memiliki morfologi yang sempurna.
Larva nyamuk yang digunakan adalah larva instar III/IV yang hidup dan bergerak aktif. Alasan pemilihan larva tahap instar III/IV dalam penelitian oleh karena larva tahap instar III/IV aktif mengonsumsi makanan di air, serta larva tahap instar III memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap faktor mekanis saat terjadi pemindahan tempat dan goncangan tempat, serta larva tahap instar IV memiliki morfologi yang sudah sempurna (Giroth et al., 2021).
Faktor lain selain stadium larva yang diduga mempengaruhi kegagalan efektivitas daun sereh yaitu kualitas sereh yang sudah berkurang dan tidak maksimalnya proses ekstraksi pada dekok sereh karena tidak dilakukan penghancuran terlebih dahulu, menurut beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Giroth et al., (2021) tanaman serai yang dipakai berkualitas baik, yang dipotong halus, dikeringkan, dan diblender hingga menjadi halus. Setelah itu, dilarutkan dengan aquadest dengan berbagai konsentrasi sebagai larvasida alami.
Masalah lain dalam penelitian ini yaitu masih terdapat pupa yang bertahan hidup meskipun pada konsentrasi dekok sereh yang tinggi. Menurut penelitian yang diakukan oleh Martini et al., (2018) Hal ini karena pupa tidak terpengaruh oleh senyawa kimia saponin yang terdapat dalam ekstrak sereh karena pupa memiliki struktur dinding tubuh yang terdiri atas kutikula yang keras sehingga senyawa saponin tidak dapat menembus dinding pupa. Padahal menurut Muta’ali dan Purwani, (2015) proses molting pada larva diduga dipengaruhi oleh senyawa saponin.
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kematian larva paling banyak ditemukan pada dekok sereh dengan konsentrasi 100% yaitu sebanyak 7 larva, kemudian yaitu dekok sereh dengan kandungan 0% yaitu sebanyak 4 larva, kematian pada konsentrasi ini disebabkan oleh kesalahan praktikan dalam melakukan seleksi dan pemindahan larva ke gelas pengamatan yang tidak dilakukan dengan hati-hati. Selanjutnya, konsentrasi 80% ditemukan 3 larva yang mati, konsentrasi 40% ditemukan 1 larva yang mati, dan konsentrasi 60% dan 20% tidak ditemukan kematian pada larva.
Kematian pada larva dipengaruhi oleh senyawa aktif pada sereh yang menyerang beberapa organ saraf pada beberapa organ vital serangga, sehingga timbul suatu pelemahan saraf, seperti pernafasan dan timbul kematian. Selain itu, beberapa senyawa juga aktif dari sereh juga dapat masuk melalui sistem pencernaan, menyebabkan dehidrasi hingga kematian. Kegagalan kematian larva pada beberapa dosis diduga disebabkan oleh usia larva, kualitas sereh yang digunakan dan cara pengolahannya.
4.2 Saran
Kegiatan pemindahan, seleksi maupun pengamatan larva perlu dilakukan dengan sangat hati-hati karena struktur tubuh larva yang rentan dan gampang rusak sehingga akan mengalami kematian seperti pada praktikum ini. Dalam pemilihan larva juga diusahakan untuk memilih larva yang masih aktif dan masih dalam tahap larva, bukan pupa. Selain itu, perlu dipastikan juga bahwa sereh yang digunakan masih dalam keadaan baik dan sebaiknya dipotong atau pun dihancurkan terlebih dahulu sebelum direbus sehingga didapatkan dekok dengan kandungan sari sereh lebih maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Andayanie, W. R., Nuriana, W., & Ermawati, N. (2019). Perlindingan tanaman dengan insktisida dan antiviral nabati. Deepublish.
Arcani, N. L. K. S, Sudarmaja, I. M., & Swastika, I. K. (2017). Efektifitas ekstrak etanol serai wangi (Cymbopogon nardus l) sebagai larvasida Aedes aegypti. E-jurnal medika, 6(1).
Giroth, S. J., Bernandus, J. B. B., & Sorisi, A. M. H. (2021). Uji efikasi ekstrak tanaman serai (Cymbopogon citratus) terhadap tingkat mortalitas larva nyamuk Aedes sp. eBiomedik, 9(1).
Makkiah, Salaki, C. L., & Assa, B. (2020). Efektivitas ekstrak serai wangi (Cimbopogon nardus L.) sebagai larvasida nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Bios Logos, 10(1).
Muta’ali, R. & Purwani, K. I. (2015). Pengaruh ekstrak daun beluntas (Pluchea indica) terhadap mortalitas dan perkembangan larva Spodoptera litura F. Jurnal Sains dan Seni ITS, 4(2).
Nugraha, E. C., Mulyowati, T., & Binugrahenni, R. (2019). Uji Aktivitas larvasida ekstrak etanolik daun serai wangi (Cymbopogon nardus L.) terhadap larva Culex sp. Instar III. Jurnal Biomedika, 12(2).
Nugroho, A. D. (2011). Kematian larva Aedes aegypti setelah pemberian abate dibandingkan dengan pemberian serbuk serai. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 7(1).
Nuryadin, Y., Najid, T., Dahlia, A. A., & Dali, S. (2018). Kadar flavonoid total ekstrak etanol daun serai dapur dan daun alang-alang menggunakan spektrofotometri UV-VIS. Jurnal Kesehatan, 1(4).
Rizqia, G. N., Ismawati, & Awalia, Y. F. (2016). Pengaruh ekstrak ethanol daun sereh wangi terhadap kemarian larva Aedes aegypti, Prosiding Pendidikan Dokter.
Yatuu, U. S., Jusuf, H., & Lalu, N. A. S. (2020). Pengaruh perasan daun serai dapur (Cymbopogon citratus) terhadap kematian larva Aedes aegypt. Jambura Journal of Health Sciences and Research, 2(1).