Kepergian Ayah
Aku pernah menjadi bunga diantara rumput liar yang membuatnya menjadi indah, aku pernah menjadi aurora diantara bintang malam yang membuatnya berwarna, aku pernah menjadi pulau ditengah luasnya lautan yang membuatnya menjadi nampak. Tapi sekarang, kau mugkin tak lagi bisa melihat indahnya bunga ditengah rumput liar yang terhalang lebatnya ilalang-ilalang yang menjadikannya layu, kau mungkin tak lagi bisa melihat aurora diantara bintang karena kehadirannya yang terbatas waktu, begitu juga dengan pulau ditengah lautan yang luas. Mungkin tsunami telah melenyapkan keberadaannya dengan sapuan gelombangnya.
***
Malam itu, tepatnya pukul delapan malam aku dan keluargaku baru menyelesaikan makan malam bersama yang rutin kami lakukan di ruang makan. Aku, ayah, ibu dan adikku selalu melakukan kebiasaan tersebut sambil sesekalli mengobrol tentang rutinitas kami di sekolah, mendengar lawakan ayah yang kadang tak lucu, mencoba resep baru ibu yang kadang terlalu asin, maupun mendengar cerita adikku mengenai mainan baru yang dibelikan ayah. Aku selalu suka saat ini, ketika kami tertawa bahagia di ruang makan serta mencurahkan segala keluh kesah yang menganggu.
Termasuk saat ini, ketika ibu dan ayah menyemangatiku tentang esok hari yang menjadi hari mendebarkan bagi anak sekolah pada umumnya, hari Sabtu. Pembagian Hasil penilaian selama belajar satu semester. Tapi hal itu tidaklah membuatku takut, melihat aku selalu menjadi juara kelas.
“Lintang besok pembagian rapot ya ?” Tanya ayah kepadaku
“ Iya yah, doain Lintang ya, semoga hasilnya memuaskan,” jawabku dengan penuh harap
“Pasti dong, lintang kan selalu menjadi juara kelas. Semoga besok juara kelas lagi,” Kata ayah
‘’iya, juga jangan lupa berdoa “ ibu menambahkan
“Siap Yah, Bu” jawabku mantap
Dan benar saja, aku kembali menjadi juara kelas. Aku ingat dulu ayah pernah berjanji padaku jika aku dapat mempertahankan peringkatku, kami akan pergi berlibur bersama. Tetapi, hari itu, tepat setelah pulang sekolah, kebahagiaanku lenyap seketika melihat ibu yang terduduk lemas di belakang pintu kamar adikku yang tengah tertidur sangat pulas, karena terlalu pulas tangisan ibu yang dapat aku dengar dari ruang tamu tak membuatnya terbangun.
“Bu, Ibu kenapa, Apa sesuatu telah terjadi ?’’ tanyaku
“Tidak apa apa, tadi tangan Ibu teriris pisau. Rasanya sakit sekali, tapi tak usah khawatir Ibu sudah mengobatinya” kata ibu ditengah isakannya.
“Tapi bu,” jawabku ragu.
“Sudahlah, cepat makan ! Pasti kamu kelaparan, Ibu sudah membuatkan makanan kesukaanmu” perintah ibu dengan nada agak keras.
Ini pertama kalinya bagiku, melihat ibu menangis dengan begitu kerasnya, sebenarnya akhir-akhir ini aku memang sering melihat ibu menangis, tapi aku terus berpikir positif, mungkin ibu sedang ada masalah yang tidak perlu aku ketahui. Namun kali ini, apalagi sebabnya adalah teriris pisau, sungguh tak masuk akal, irisan pisau bisa membuat ibu menangis sampai terisak. Aku berusaha memahami ibu tapi pikiran yang buruk terus membuatku tidak bisa berpikir jernih. Ibu bahkan tidak bertanya mengenai nilai rapotku. Hal inilah yang membuatku terkadang membenci ibu, ia tidak pernah sekalipun mau menceritakan apa yang ia rasakan baik kepadaku, maupun kepada ayah.
***
Hari ini ada yang berbeda dari biasanya, ayahku yang biasanya selalu pulang cepat kini sudah dua hari tidak pulang. Aku merasa ada yang aneh, tangisan ibu yang kemarin, juga ayah yang sudah dua hari tidak pulang, membuatku semakin cemas.
‘’Ibu, Ayah kemana?” tanyaku cemas
“Ayahmu sedang keluar kota”. Mata ibu berair
Lagi-lagi ibu berbohong, bagaimana mungkin ayah sedang keluar kota sedangkan ayah tidak membawa pakaiannya sedikit pun. Kebohongan ibu membuatku semakin penasaran. akupun mencoba untuk memeriksa kamar ibu, kutemukan sebuah amplop cokelat, di dalamnya terdapat dua lembar kertas. sebuah surat perceraian. Pandanganku kabur, terhalang oleh derasnya air mata yang tak mampu lagi untuk kubendung. aku segera beranjak setelah kudengar suara pintu yang terbuka, aku tahu itu ayah.
“Ayah !” teriakku
“Lintang, ada apa ? kenapa kamu menangis ?” Tanya ayah khawatir
“Surat apa ini Yah! Ayah tega ingin meniggalkan lintang dan adik. Apa salah Ibu yah?”
teriakanku yang sangat keras menyadari ibu yang dari tadi duduk di dapur akan kehadiran ayah, ia pun bangkit dari lamunannya dan segera menemui kami berdua, adikku yang tidak pernah peduli akan apapun kecuali mainan dari ayah tiba-tiba menangis entah kenapa.
“Lintang sudahlah, biarkan saja ayahmu pergi. Kan ada ibu yang akan merawat kamu dan adik” kata ibu membentakku.
“Lintang dan adik tinggal sama ibu ya, nanti ayah akan rajin mengunjungi kalian berdua. Jangan sedih. Ayah pergi ya. Jaga diri kalian baik-baik“ kata ayah begegas pergi sambil membawa pakaian yang sedari tadi dikemasnya.
“Ayah Ayah mana mainan Adik “ tanya adikku polos
“Nanti Ayah belikan ya, sekarang Ayah harus pergi dulu”
’Ayah’’ tangisanku semakin menjadi-jadi.
***
Hari ini tepat 30 hari setelah kepergian ayah waktu itu. Kurebahkan tubuhku di kasur biru yang merupakan hadiah ulang tahunku dari ayah yang ke 13 tahun waktu itu. Tak pernah satu haripun kulewatkan dengan berbicara pada ibu. Aku tak tahu sejak itu, ibu jarang sekali keluar dari kamar, mungkin kami hanya bertemu saat jam makan malam. Makan malam yang sunyi, hanya adikku yang mengomel menanyakan keberadaan ayah dan mainan yang ayah janjikan. Semua ini terasa tak nyata bagiku, apa sebabnya perceraian ini, baru beberapa minggu yang lalu keluarga kami baik-baik saja, tiba-tiba dalam sekejap hancur begitu saja.
Aku yang dulunya merupakan anak yang ceria dan juara kelas, kini pergi sekolah saja membuatku malas. Rasanya, bisa naik ke tingkat berikutnya saja sudah menjadi kesyukuran bagiku. Di Saat seperti inilah aku tidak bisa berpikir jernih, kupertanyakan keberadaan tuhan yang katanya maha menolong dan membolak-balik hati. Kehidupanku berububah 180 derajat dari sebelumnya, yang sama hanya makan, tidur, dan rutinitas harian lainnya. hingga suatu hari aku mendengar kabar bahwa ayahku terbaring di rumah sakit. Bergegas aku menuju rumah sakit tanpa mempedulikan rumah yang kutinggalkan dalam keadaan tidak terkunci.
Sesampainya disana kulihat ibu yang sudah terduduk lemas di depan pintu ruang gawat darurat dengan adikku yang berdiri disampingnya sambil memegang mainan robot pemberian ayah beberapa bulan yang lalu. Sejak kapan ibu disini, apa ibu sengaja tak memberitahuku bahwa ayah sakit. Ayah sakit apa, bagaiman keadaannya. Berbagai pertanyaan merasuk pikiranku.
“Ayah sakit apa Bu?’’ tanyaku yang tak sanggup lagi menahan rasa penasaran yang membelenguku
“Ibu tidak tahu, tadi Ibu mendengar dari pak darto bahwa Ayah sedang sakit, lalu Ibu segera pergi tanpa memberitahumu. Maafkan Ibu” kata ibu degan air mata yang sedari tadi membasahi pipinya.
Sambil menunggu dokter selesai melakukan pemeriksaan, ibu bercerita kepadaku tentang perceraian yang terjadi beberapa bulan yang lalu.
“Maafkan Ibu, mungkin Ayah ingin berpisah karena kesalahan Ibu. Ibu tidak tahu kesalahan apa yang telah Ibu lakukan yang membuat Ayah tiba-tiba mengirim surat perceraian yang membuat Kamu dan Adik menderita. Ibu tidak tahu lagi harus berbuat apa saat itu, maafkan Ibu yang egois ini karena tidak pernah bertanya tentang perasaanmu’’ tangisan ibu semakin keras.
Aku hanya diam, aku tahu ibu sudah lama ingin mengatakan hal itu, mungkin karena waktunya saja belum tepat yang mencegah ibu untuk mengutarakan perasaannya. Dokter selesai melaukan pemerikasaan, pasrah terlihat dari isyarat wajahnya. kumantapkan hati ini untuk masuk menemui ayah yang sudah lama tak ku lihat, mendengar kabarnya saja tak pernah. Kulihat ayah terbaring lemah dengan selang-selang yang melekat di tubuhnya, ibu mengenggam tanganku erat.
“Ayah seperti robot” kata adikku polos
“Ayah” kataku parau terhalang tangisan yang dari tadi tertahan
Ayah membuka matanya pelan
“Ibu, Lintang, Adik” kata ayah pelan hampir tidak terdengar
“Ayah, apa yang terjadi ?” kata ibu menangis.
“Maafkan Ayah ya” ucap ayah samar sekaligus merupakan kata-kata terakhir ayah.
Kulihat kembali kotak pemberian ayah yang dititipkannya kepada pak darto, sepupu ayah. Tiga mainan yang pernah ayah janjikan untuk adik, empat buah karcis kebun binatang tertanggal pada hari pembagian rapotku waktu itu, buku tabungan dan surat-surat penting yang ayah persiapkan untuk kehidupan kami, serta selembar surat yang menjawab semua pertanyaanku selama ini. Penyakit jantung kronis yang menyebabkan semua hal buruk terjadi kepada kami mulai dari perceraian waktu itu hingga aku harus kehilangan ayah yang sangat kusayangi. Alasan ayah untuk tidak menambah beban keluarga kami sehingga membuatnya menyembunyikan penyakitnyalah yang membuatku menyesali semuanya. Jika saja ayah memberitahu kami alasan yang sebenarnya, tentu kami dapat menghabiskan waktu bersama lebih lama serta menemani ayah di saat-saat terakhirnya.
Penulis : Nyct (nama pena)