Di kamar kos bercat kuning yang penuh dengan poster penyanyi yang trendtahun 90-an, westlife, Gibran Ahmad Pramukti, mahasiswa salah satu universitas swasta di Malang jurusan manajemen yang terkenal dengan julukannya sebagi mahasiswa kupu-kupu alias mahasiswa yang langsung pulang sehabis kuliah. Gibran menjalani sebagian besar hari harinya yang hanya dipenuhi dengan game, makan, tidur dan aktivitas-aktivitas yang tidak bermanfaat lainnya. Laki-laki berambut ikal dengan tinggi 175 cm ini hampir tidak pernah terlihat bahkan oleh tetangga samping kosnya sendiri.
Bukan karena sibuk kuliah, tapi karena jarangnya terdengar pintu kamarnya itu terbuka bahkan sekedar untuk menghirup udara segar.
Untuk hadir perkuliahan saja sudah sebuah keajaiban baginya apalagi untuk mengikuti UKM yang tersedia di kampusnya. Ia lebih memilih untuk bersosial dengan laptop silvernya dibandingkan dengan orang lain, sesekali ia masih menghubungi orang tuanya di Pasuruan untuk sekedar bertanya kabar ataupun bertanya jatah bulanannya. Meskipun masuk kuliah hanya jika ingin saja, Gibran bukanlah mahasiswa dengan IPK terendah dikelasnya, Gibran memiliki IPK yang tinggi hanya saja absensi kehadirannya membuat IPK nya nyaris dibawah angka tiga.
Gibran merupakan mahasiswa yang cerdas tetapi kemalasan dan kepribadian cueknya membuat ia tidak bisa memberikan yang terbaik. Pagi itu, arlojinya menunjukkan pukul 08.10.00 pertanda 10 menit telah berlalu sejak kelas dimulai dan ia masih berkutat dengan laptop dan stick PSnya. Alarm handphonenya berbunyi pertanda waktunya untuk bersiap-siap, tak sampai 10 menit ia selesai bersiap-siap kemudian berangkat dengan motor tuanya yang ia beli dari tukang loak di seberang kosnya. Waktu menunjukkan pukul 08.30.56 akhirnya Gibran tiba di kampus, segera ia bergegas menuju kelasnya, koridor sebelah utara lantai dua, namun sayangnya usahanya sia-sia ia lupa bahwa pagi ini adalah kelas yang dari salah satu dosen yang terkenal disiplin di kampusnya, Pak sudjoyono.
“Maaf pak, tadi ada urusan sebentar” Gibran denga wajah datarnya memotong penjelasan dosen di depan kelas.
“iyaa mas, silahkan masuk saat kelas saya berakhir” jawab dosennya ketus.
Tanpa menunggu lama, Gibran segera beranjak dari posisinya yang masih mematung di depan pintu “baik pak, terima kasih” sebenarnya, ia telah mengetahui apa yang akan terjadi namun dari pada di cap tidak sopan dan menimbulkan masalah baru jika pergi begitu saja, ia lebih memilih untuk berbasa-basi terlebih dahulu. Ia pun meninggalkan kelas menuju lantai satu tepat di belakang parkiran, sebuah warung kopi yang tidak terlalu besar dan tidak begitu ramai karena saat itu hanya beberapa kelas yang mempunyai kelas pagi.
Tempat ini merupakan salah satu lokasi favorite Gibran di kampus selain di WC dan danau belakang kampus. Selain aroma kopi yang ia suka, tempat ini juga biasa ia pakai untuk menghabiskan tiga batang rokoknya sekali duduk. Meskipun seorang yang tidak suka bersosialisasi dengan lingkungannya, Gibran bukanlah seorang yang anti-sosial. Ia punya banyak teman baik dari kampus yang sama maupun kampus yang berbeda-beda.
“Bu, torabika susu satu” teriaknya kepada bu Ida.
“iya dek, tunggu sebentar” bu Ida menjawab teriakannya.
sambil menunggu pesananya, satu persatu batang rokok ia hisap hingga hisapan rokok kedua tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh Bagus, pria bermata cokelat dengan tinggi 170 ini langsung mengambil tempat tepat di depan Gibran
“tumben masuk Bran” tanya Bagus heran.
“lagi pingin aja” Gibran menjawab singkat dengan setengah puntung rokok masih di sela-sela jarinya.
“ibu, teh manisnya satu” pesan Bagus dengan gaya sopannya.
setelah terdiam cukup lama, Bagus memutuskan untuk ikut memesan.
“kamu gak mau nyoba berhenti ngerokok ran? Barusan tetanggaku di desa meninggal karena kanker paru-paru. Bagaimana tidak, sehari bisa sampai tiga bungkus rokok dia habiskan” tanya bagus penasaran.
“entahlah, aku gak pernah memikirkan itu. Kamu sendiri kenapa gak ngerokok?” Gibran balik bertanya.
“duitku gak sebanyak itu buat rusak paru-paru demi rokok. Hahaha” jawabnya dengan tawa khasnya
mendengarnya, Gibran tertawa kecut.
“emang kamu gak kasihan bran sama orang tuamu, nyekolahin baik-baik eh kuliah cuman buat ngerokok di warkop doang.” Bagus kembali bertanya.
Selain sebagai ketua kelas di kelas yang sama dengan Gibran, bagus juga merupakan ketua angkatan `17 jurusan manajemen di kampus tersebut, kepribadiannya yang ramah dan peduli membuat ia menjadi salah satu primadona di kampus tersebut.
Merasa tersinggung dengan pertanyaan bagus Gibran menjawab ketus
“aku bisa mengurusnya sendiri”
“hmm baiklah, aku hanya mencoba mengingatkanmu, apalagi dengan otakmu yang seperti itu aku yakin kau bisa memberikan banyak prestasi di kampus ini bahkan di negeri ini” saran Bagus dengan tulus.
“ya terima kasih”
Mereka saling diam, kesunyian diantara mereka terhenti saat bu ida datang mengantar pesanan mereka.
“ torabika susu satu, teh manisnya satu ya mas” tanya bu Ida memastikan
“iya bu, terimakasih” jawab Bagus sopan
“oh iya, dengar-dengar kamu suka desain gitu ya bran?” tanya Bagus antusias.
“lumayan, tergantung bayarannya” jawabnya datar.
“hahaha, aku hanya bertanya kamu menyukainya atau tidak, bukan ingin menawarkan kontrak kerja” Balasnya sambil tertawa kecil.
“aku pernah sesekali mencoba membuat beberapa desain untuk mengambil kerja part time yang tidak mengharuskan keluar kamar dan bisa dikerjakan sambil tidur, makan dan sebagainya. Ya meskipun hasilnya hanya cukup untuk makan sehari”
“ setidaknya lewat kemampuan digitalmu itu kamu bisa menghasilkan uang, oh iya aku pernah melihat desain yang ada di artikelmu”
“kapan?” jawabnya sedikit terkejut.
“mungkin dua tahun yang lalu”
“ya, aku sering mencoba-coba menggambar desain saat bosan bermain game”
“apa cita-citamu?” tanya Bagus tertarik.
“entah, anggota DPR mungkin” wajahnya bingung.
“hmm, kenapa harus anggota DPR, kamu tidak berminat menjadi desainer grafis, animasi atau yang kaitannya dengan desain lainnya?” Bagus kembali bertanya penasaran.
“siapa yang tidak mau menjadi anggota DPR, tidak perlu bekerja ATM terisi otomatis” Gibran menjawab masih dengan ketidak peduliannya.
“hahaha benar juga, tapi sayang sekali bakat yang kamu miliki jika tidak dikembangkan dengan baik”
Bosan dengan topik pembicaraan, Gibran segera menghabiskan kopinya dengan cepat dan bersiap-siap untuk kembali ke rutinitas hariannya—mengunci diri di kamar—yang membuatnya sangat nyaman.
“aku balik duluan gus, ada kerjaan” bergegas sembari mengambil tasnya di atas meja.
“iya, hati-hati bran, oh iya kemarin kamu gak masuk kelas, Bu Pridya ngajak sekelas untuk kunjungan ke yayasan rumah pelangi, gak wajib ikut sih tapi Bu pridya ngasih jaminan nilai plus jadi kalau kamu mau sering-sering gak masuk juga tetap aman”
“oke, akan aku pertimbangkan” jawabnya sedikit tertarik.
Dalam hatinya, Gibran bergumam memikirkan apa itu rumah pelangi. Meskipun tidak tertarik dengan kegiatan sosial seperti itu, Gibran tertarik dengan tawaran menggiurkan dari nilai plus yang ditawarkan, apalagi ia ingin cepat-cepat keluar dari kampus itu dan kembali bersantai atau sekedar pulang kampung.
***
Waktu menunjukkan pukul 12.00.00 sesampainya dikamar kosnya Gibran menyempatkan diri untuk mencari informasi tentang rumah pelangi. Akhirnya disebuah web terdapat satu artikel yang memahas tentang rumah pelangi. Berdasarkan informasi yang ada akhirnya Gibran mengetahui bahwa rumah pelangi merupakan yayasan bagi anak-anak penderita kanker, meskipun tidak peduli, ia akhirnya memutuskan untuk mengikuti kegiatan bakti sosial tersebut demi tawaran nilai plus.
***
Seminggu berlalu, Gibran dan beberapa teman sekelasnya yang ikut bakti sosial berkumpul di lapangan kampus. Acara dibuka oleh ibu Pridya dengan menyampaikan beberapa arahan-arahan tentang kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan nanti setibanya disana. Dengan rasa malas yang tinggi Gibran mendengarkan arahan sambil bermain game online di Hp.
***
Setibanya di yayasan rumah pelangi mereka langsung disambut oleh anak-anak dan juga ibu dan bapak pengasuh mereka. Mereka kemudian terlebih dahulu diajak berkeliling yayasan. Kebetulan didalam yayasan terdapat berbagai kelas-kelas yang sedang diselenggarakan mulai dari kelas berhitung, kelas olahraga, kelas mengaji, membaca dan kelas seni. Anak-anak yayasan sangat antusias dalam mengikuti kelas meskipun tidak sedikit yang mengeluh merasakan sakit dan harus mengikuti kelas dengan kursi roda dan infus ditangannya. Meskipun dalam keadaan wajah pucat mereka tetap bersemangat dan ceria seperti tidak ada satupun beban yang mereka pikul. Hal ini membuat Gibran sedikit tersentuh.
Hingga saat melakukan kunjungan ada satu kelas yang menarik Gibran, kelas seni. Dinding putih tempat anak-anak penderita kanker menggantungkan gambar mimpinya, terdapat sebuah gambar menara yang tepat di belakangnya gunung-gunung menjulang tinggi. Dia ingat gambar itu, desain pertama yang ia buat dan ia bagikan di artikel miliknya. Menara dengan cat putih dengan dicampur warna keemasan di tepinya, jendela-jendela besar tepat mengarah ke gunung di belakangnya serta lampu-lampu jalan dan pemukiman penduduk yang menambah keramaian. Di kertas dengan gambar khas anak kecil itu tertuliskan nama Kalia yang dibubuhkan tanda-tangan berbintang.
“kenapa mas, Menarik ya?” tanya salah satu ibu pengasuh.
Tanpa ia sadari ternyata ia telah tertinggal dari barisan teman-temannya.
“iya Bu, ini gambar siapa ya?” tanya Gibran penasaran.
“oh itu gambar nak Kaila, itu yang sedang bermain bersama anak-anak lain” sambil menunjuk seorang gadis kecil berkursi roda.
“terima kasih bu”
Tanpa sadar, kakinya mengantarkan dia tepat di samping anak itu.
“kamu Kaila?” tanyanya halus.
“iya kak, kakak kenal Kaila?” jawab Kaila heran.
“hmm, Menara putih disana kamu yang gambar?” sambil menunjuk gambar paling atas di dinding putih itu.
“iya kak, itu Menara kesukaan Kaila” jawab Kaila dengan mata bersinarnya.
“kamu pernah lihat dimana?” tanya Gibran penasaran.
“dari google kak”
“kamu tau siapa yang buat gambar itu?”
“ngak tau kak, kakak tahu?” tanyanya penasaran
“kalau kakak bilang kakak yang gambar kamu percaya?”
Dengan wajah pucatnya, senyum lebar menghiasi wajahnya. Dengan kepalan tangan yang seperti meninju langit ia senang luar biasa.
“kamu percaya gak?” tanya Gibran kembali
“percaya kak” jawabnya dengan senyumnya yang masih tersimpul.
“kok bisa percaya?” tanya Gibran ragu
“percaya saja” jawabnya dengan penuh keyakinan
“kamu suka gambar itu?”
“iya kak, Kaila pingin kesana tapi gak bisa” jawabnya dengan raut wajah sedihnya.
“kenapa?”
“kata dokter Kaila gak bisa jadi lebhi besar karena dalam badan Kaila ada Sel yang nakal gak mau di nasihatin”
Sesak memenuhi dada Gibran, hatinya luluh oleh gadis kecil, gadis imut usia Sembilan tahun yang duduk di depannya. Tanpa sadar ia terdiam, terpaku menatap mata tulus yang sedari tadi bersinar.
“kakak pintar gambar ya, lain kali bikinin Kaila gambar lagi ya” pintanya antusias.
“mau digambarin apa?”
“apapun”
“hmm, oke deh, lain kali kalau kakak kesini lagi ya” dalam hatinya ia berjanji untuk menggambar sebaik mungkin.
“horeee, oh iya kakak pingin jadi apa?”tanyanya penasaran.
“hmm jadi apa ya, belum tahu dek” jawabnya bingung
“yaa, kakak gambar aja ya. Teman-teman Kaila juga suka gambar kakak kok” pintanya dengan wajahnya yang lugu.
“hahaha oh ya, nanti kakak pikirin lagi, kakak pulang dulu ya” sebenarnya Gibran masih ingin bermain dan bercerita lebih lama lagi tapi waktu memisahkan pertemuan mereka.
“iyaa kak, Kaila tunggu kakak kembali kesini ya” pintanya memohon.
“oke Kaila” sambil melambaikan tangannya lama.
Tanpa Gibran sadari, waktu telah lama berlalu, waktunya untuk mereka kembali ke kampus. Banyak cerita yang mereka dapat dari kegiatan ini. Gibran tidak pernah menyesal untuk melakukan kegiatan ini, bahkan ia berpikir untuk kembali lagi mengirim karyanya kepada Kaila.
***
Satu minggu berlalu, sebuah surat menjadi pembuka hari Gibran pagi ini. Hp Gibran berbunyi tanda ada pesan WA masuk.
“Bran, ini Bagus. Aku nitip surat depan pintu kamu. Aku ketuk dari tadi gak ada suara. Jangan lupa hari ini ada kelas pagi”
Dengan kebingungan Gibran bangkit menuju pintu mendapatkan sepucuk surat warna-warni dengan pita kuning di tepinya. Dengan penasaran ia membuka surat dengan perlahan.
“ hallo kakak yang Kaila lupa tanya namanya, Kaila mungkin gak bisa nepatin janji untuk tungguin gambaran kakak, terima kasih karena gambar kakak sudah buat Kaila senang dan tetap setia menunggu kesempatan bisa pergi ke Menara. Tetap ngegambar ya kak, buat anak-anak lain teman-teman Kaila juga senang dan kuat karena kakak. Semangat kakak yang baik. Selamat tinggal kak. ”
***
3 september 2017
Waktu kematian Kaila, pukulan bagi Gibran. Orang yang termotivasi oleh gambarnya bahkan belum sempat untuk ia berikan gambar terbaru. Tanpa sadar tubuhnya lemas, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
***
Gibran memutuskan tekadnya untuk menjadi seorang desainer grafis, perlahan-lahan ia mulai memperbaiki gaya hidupnya, mulai mengurangi rokok secara perlahan, dan hebatnya ia mulai aktif dalam kegiatan perkuliahan demi mewujudkan mimpinya meskipun bukan dari jurusan desain iya percaya bahwa apa yang ia terima sekarang pasti ada manfaatnya dimasa depan, ia mulai aktif dalam kegiatan UKM dan organisasi kampus, ia menyadari bahwa mahasiswa bukanlah orang yang hanya berdiam diri dikamar dan bermain game. Ia menyadari bahwa mahasiswa adalah orang yang memahami tujuan hidupnya dan berkontribusi bagi lingkungan dan negara. Selain itu, ia menyadari bahwa tujuannya bukan hanya menjadi seorang desainer saja. Ia punya mimpi yang lebih besar. Memajukan dunia desain dengan motif khas budaya Indonesia sampai kancah internasional. “Kaila, gambar kakak akan memotivasi banyak orang di dunia” gumamnya dengan penuh tekad.
***
11 November 2019
Tidak hanya dalam omongan, Gibran berhasil membuktikannya. Hari ini, tepat di depannya berdiri sebuah piagam penghargaan atas kemenangannya dalam pameran desain di Kuala Lumpur. Sebagai langkah awalnya dalam mencapai segala mimpinya.
“Menjadi pemuda yang beperan dan berkontribusi didasari dengan pengetahuan dan pemahaman terhadap potensi diri sendiri dan pengertian terhadap hakikat pemuda itu sendiri.”