Daftar Isi
Khawarij dan Murjiah dalam Teologi Islam
[Nama Penulis]
Program Studi Biologi, [Universitas Penulis]
Email: [Email Penulis]
Abstrak
Sejak wafatnya Rasulullah kerap terjadi perselisihan mengenain pemimpin yang akan memimpin umat islam pada masa itu. Hal ini menjadi pertanda sejarah awal lahirnya kalam. Perdebatan demi perdebatan terkait dengan persoalan wafatnya khalifah utsman bin Affan memicu penolakan terhadap baiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah selanjutnya. Hal ini kemudian memicu timbulnya aliran-aliran baru seperti khawarij yang berideologi radikal dan murjiah yang cenderung menggantungkan persoalan dan mengesampinkan amal perbuatan. Meskipun telah muncul sejak jaman dahulu, hingga saat ini, masih ditemukan kelompok kelompok dengan aliran-aliran radikal yang serupa dengan mengatasnamakan islam sebagai identitas mereka dalam melakukan berbagai tindak kejahatan.
Pendahuluan
Sejak zaman dahulu hingga sekarang, bukanlah sebuah rahasia lagi bahwa banyaknya aliran aliran dengan pemikiran radikal yang seringkali melakukan tindak kejahatan ekstrem. Parahnya, aliran-aliran ini mengatasnamakan islam dan menyalahgunakan hukum Allah dalam berbuat suatu kemaksiatan. Orang-orang dalam kelompok aliran ini disebut dengan teroris. Kelompok teroris ini telah banyak melakukan tindak kejahatan seperti pembunuhan hingga penyanderaan orang-orang yang mereka anggap tidak menjalankan perintah dan hukum Allah.
Kelompok ini memiliki ideologi yang fanatik dalam beragama serta tidak terbuka terhadap pendapat-pendapat lain diluar kelompok mereka. Setelah mempelajari sejarah kalam, pada dasarnya kelompok-kelompok seperti ini sudah ada sejak jaman kekhalifahan. Mereka membentuk aliran-aliran dan menggunakan doktrin-doktrin yang bertentangan dengan islam yang sesungguhnya.
Salah satu aliran yang muncul pada masa itu yaitu khawarij dan murjiah, yang mana pada awalnya aliran ini muncul akibat persoalan politik dan kemudian beralih pada bahasan teologis. Oleh karena itu, makalah ini dibuat sebagai bentuk pengenalan dasar terhadap aliran khawarij dan murjiah agar umat muslim dapat memahami dan mengenal sejarah kalam serta informasi terkait dengan khawarij dan murjiah.
Pembahasan
Sejarah Munculnya Kalam
Sejarah Munculnya kalam dimulai sejak wafatnya Rasulullah S.A.W. pada tahun ke tiga belas hijriah. Yang mana pada masa itu terjadi pergolakan besar-besaran umat muslim terkait dengan politik kepemimpinan pada masa itu. Perundingan terkait siapa yang berhak memimpin umat islam setelah wafatnya Rasulullah S.A.W menghasilkan keputusan di angkatnya Abu Bakar As-Siddiq sebagai khalifah pertama yang menggantikan Rasulullah dalam memimpin umat Islam yang pada masa itu kekuasaan Islam sudah meluas hingga ke luar jazirah Arab.
Pada awalnya, pengangkatan khalifah pada masa ini tidaklah menimbulkan permasalahan yang begitu besar hingga kemudian masalah timbul ketika diangkatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ke-4 setelah wafatnya Utsman bin Affan sebagai khalifah ke-3 akibat pembunuhan yang dilakukan oleh seorang berkebangsaan Yahudi. Pengangkatan khalifah Ali bin Abi Thalib mendapatkan pemberontakan dari berbagai kalangan seperti Talhah bin Khuwailid, Zubair bin Awwam, A’ishah binti Abi Bakar As-Siddiq dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Hingga peperangan melawan pasukan dari Mekkah yang dipimpin oleh Zubair bin Awwam tidak tergolakkan. Peperangan ini disebut dengan perang Jamal. Akhirnya, kemenangan diraih oleh pasukan Ali bin Abi Thalib.
Pasukan Ali kemudian kembali berperang dengan pasukan yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dalam perang siffin dan hampir memperoleh kemenangan sesaat sebelum Muawiyah bin Abi Sufyan mengajukan sebuah perdamaian yang disebut dengan arbitrase. Meskipun Ali bin Abi Thalib mengetahui bahwa perdamaian ini hanyalah sebuah tipu muslihat yang dilakukan oleh pasukan Muawiyyah karena isi perjanjian damai mereka yang cenderung menguntungkan pihak Muawiyyah, Ali bin Abi Thalib memilih untuk berdamai dan menerima arbitrase tersebut dikarenakan sebagaian besar pasukan Ali memilih untuk menerima ajakan berdamai. Hal ini menimbulkan kemarahan besar bagi pasukan Ali yang menolak ajakan damai dari Muawiyyah tersebut. Mereka kemudian memisahkan diri dari kelompok Ali dan memilih untuk menjadi pemberontak dalam kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Merekalah yang kemudian akan membentuk kelompok aliran bernama Khawarij.
Aliran Khawarij
Firqah khawarij merupkan sekte tertua yang mula pertama muncul dalam kalangan umat islam. Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Maka kaum khawarij adalah segolongan umat islam yang kemudian memisahkan diri atau keluar dari kelompok pemdukung kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.[1] Selain itu, khawarij juga dikenal dengan beberapa nama lain yaitu sebagai Khawarij;Muhakkimah;Al-Hururiyah;As-Sabi’iyyah2;An-Naasibah;Al-Maariqah;AlMukaffirah; dan Ahlun Nahrawaan. [2]
Sejarah Khawarij
Berdasarkan penolakan terhadap arbitrase yang disetujui Ali bin Abi Thalib dalam perang siffin melawan Muawiyyah inilah yang meninimbulkan perpecahan hingga golongan penentang arbitrase kemudian membentuk kelompok dan menamai diri mereka dengan khawarij. Oleh karena itu, ketika khalifah Ali menerima tawaran damai dengan pemberontak muawiyah mereka segera berbalik memusuhi khalifah Ali bin Abi Thalib beserta pendukungnya dengan semboyan yang terkenal: la hukma illa lillah.[3]
Menurut beberapa analisis, diperkirakan alasan penolakan pasukan Ali terhadap arbitrase tersebut yaitu:
- Alasan ekonomi: Mayoritas mereka terdiri dari orang-orang pedalaman yang selalu dalam kekurangan secara finansial. Ketika mereka melihat akan mendapatkan harta rampasan perang yang amat banyak, mereka sudah memimpikan hal-hal indah yang belum pernah mereka rasakan. Akan tetapi segera Impiannya sirna manakala ‘Ali bin Abi Talib dihadapkan pada tawaran damai.
- Mereka paham akan taktik peperangan yang hanya akan memperalat perdamaian untuk menipu musuhnya. Dengan dalih ingin berdamai, sebenarnya para musuh (pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan) ingin mengalahkan musuhnya (pasukan ‘Ali bin Abi Talib) dengan tipu muslihat seolah-olah ingin berdamai, maka bagi mereka yang mengerti tipu muslihat ini menolak ajakan berdamai.
- Arbitrase yang ditawarkan tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa Al-tahkim dengan jalan selain kitab Allah dan hakimnya adalah Allah sendiri. Al-tahkim yang tidak mengikuti petunjuk al-Qur’an adalah termasuk perbuatan dosa besar.[4]
Selain itu, terdapat beberapa pendapat yang menyatakan alasan lahirnya kelompok khawarij yaitu:
- Fanatisme kesukuan, merupakan satu dari sebab-sebab munculnya Khawarij. Fanatisme kesukuan ini telah hilang pada zaman Rasulullah dan Abu Bakar serta Umar, kemudian muncul kembali pada zaman pemerintahan Utsman dan yang setelahnya. Dan pada masa Utsman fanatisme tersebut mendapat kesempatan untuk berkembang karena terjadi persaingan dalam memperebutkan jabatan-jabatan penting dalam kekhilafahan.
- Semangat keagamaan, setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai (hakam)-nya, tetapi orang-orang Khawarij menolaknya dengan alasan bahwa Abdullah bin Abbas adalah orang yang berasal dari kelompok Ali. Mereka lalu mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim, yaitu Ali di turunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, sementara Mu’awiyah dinobatkan menjadi khalifah oleh delegasinya pula sebagai pengganti Ali, akhirnya mengecewakan orang orang Khawarij. Sejak itulah, orang-orang Khawarij membelot dengan mengatakan,”Mengapa kalian berhukum kepada manusia? Tidak ada hukum selain hukum yang ada pada sisi Allah”.[5] Dengan demikian, lahirnya khawarij tidak hanya didasari oleh sebab politik, tetapi juga oleh pemikiran teologi terkait dengan hukum Allah dan perbuatan dosa.
Ideologi Khawarij
Ajaran Khawarij bermula dari masalah pandangan mereka tentang kufur. Kufur (orang-orang kafir), berarti tidak percaya. Lawannya adalah iman (orang yang dikatakan mukmin) berarti percaya.[6] Bila pada masa Rasulullah terminologi kafir hanya dipakai untuk mereka yang belum memeluk Islam, kaum Khawarij memperluas makna kafir dengan memasukkan orang yang telah beragama Islam ke dalamnya. Yakni orang Islam yang bila ia menghukum, maka yang digunakannya bukanlah hukum Allah.[7]
Ibnu Ḥajar al-Asqalānī, berkata dalam kutipannya, dari Ibnu Al-‘Arabī; Khawarij itu ada dua kelompok, pertama berkeyakinan bahwa sesungguhnya Usman, ‘Ali, pasukan perang Jamal dan Siffin serta setiap orang yang menerima arbitrase adalah kafir. Kedua, berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan kekal di neraka. Najdah kemudian menambah akidah Khawarij bahwa orang yang tidak keluar dan menyerang umat Islam adalah kafir walaupun seakidah.[8] Akidah kaum Khawarij bahwa orang yang tidak keluar dan memerangi umat Islam, maka dia kafir sekalipun seakidah dengan Khawarij. Mereka juga meengkafirkan orang tidak menyeruh kebaikan dan mencegah kemungkaran jika mereka mampu. Jika merek tidak mampu, maka dia telah melakukan dosa besar. Hukum bagi pelaku dosa besar adalah kafir menurut pandangan mereka. [9]
Para ulama klasik dan ulama kontemporer sepakat bahwa Khawarij adalah kelompok yang jahat, mereka durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Sekalipun mereka shalat, shaum, membaca al-Qur’an, menyeruh kebaikan dan mencegah kemungkaran. Akan tetapi hal itu tidak memberi manfaat apapun, kerana mereka menafsirkan al-Qur’an berdasarkan hawa nafsu dan menyampaikan hal keliru kepada umat Islam.[10]
Doktrin-doktrin Pokok Khawarij
Dari sepak terjang pemahaman kaum Khawarij dari dulu hingga sekarang, maka dapat di tarik garis lurus bahwa doktrin Khawarij dapat dikategorikan tiga, yaitu:
1. Doktrin Politik
Politik merupakan doktrin sentral Khawarij yang timbul sebagai reaksi terhadap keberadaan Muawiyah yang secara teoritis tidak pantas memimpin negara, karena ia adalah seorang tulaqa (bekas kaum musyrikin di Mekkah yang dinyatakan bebas pada hari jatuhnya kota itu kepada kaum Muslimin). Kebencian itu bertambah dengan kenyataan bahwa keislaman Muawiyah belum lama. Mereka menolak untuk dipimpin orang yang dianggap tidak pantas. Jalan pintas yang ditempuhnya adalah membunuhnya, termasuk orang yang mengusahakannya menjadi Khalifah. [11]
Doktrin-doktrin politik yang menjadi sentral kaum Khawarij adalah:
- Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam;
- Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang Muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat;
- Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman;
- Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman dianggap telah menyeleweng;
- Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah tahkim, ia dianggap telah menyeleweng. Muawiyah dan Amr ibn Ash serta Abu Musa al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan teleh menjadi kafir;
- Pasukan perang Jamal yang melewati Ali juga kafir.[12]
2. Doktrin Teologi
Doktrin teologi khawarij yang radikal pada dasarnya merupakan imbas langsung doktrin sentralnya, yaitu doktrin politik. Radikalitas itu sangat dipenggaruhi oleh sisi budaya yang juga radikal. Hal lain yang menyebabkan radikalitas itu adalah asal-usul mereka yang berasal dari masyarakat badawi dan pengembara padang pasir tandus. Hal itu telah membentuk watak dan tata pikirnya menjadi keras, berani, tidak bergantung kepada orang lain, bebas, dan tidak gentar hati. Akan tetapi, mereka fanatik dalam menjalankan agama.[13]
Sifat fanatik itu biasanya mendorong seseorang berpikir sempit, berpengetahuan sederhana, melihat pesan berdasarkan motivasi pribadi, dan bukan berdasarkan pada data dan konsitensi logis, bersandar lebih banyak pada sumber pesan (wadah) daripada isi pesan, mencari informasi tentang kepercayaan orang lain dari sumber kelompoknya dan bukan dari sumber kepercayaan orang lain, mempertahankan secara kaku sistem kepercayaannya, dan menolak, mengabaikan, dan mendistorsi pesan yang tidak konsisten dengan sistem kepercayaannya. Orang-orang yang mempunyai prinsip Khawarij ini menggunakan kekerasan dalam menyalukan aspirasinya[14]
Doktrin-doktrin teologi yang dianut oleh kaum Khawarij antara lain:
- Seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut Muslim sehingga harus di bunuh. Mereka menganggap bahwa seorang Muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh Muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapakan pula;
- Setiap Muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dār al-ḥarb (negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap dār al-Islām (negara Islam);
- Seseorang harus menghindari pimpinan yang menyeleweng
- Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga sedangkan orang yang jahat masuk ke dalam neraka).[15]
3. Doktrin Teologis Sosial
Orang-orang yang keras dalam pelaksanaan ajaran agama, sebagaimana dilakukan kelompok Khawarij, cenderung berwatak tekstualis/skripturalis sehingga menjadi fundamentalis. Kesan skriptualis dan fundamentalis itu tidak nampak pada doktrin-doktrin Khawarij. Namun, bila doktrin teologis-sosial ini benar-benar merupakan doktrin Khawarij, dapat diprediksikan bahwa kelompok Khawarij pada dasarnya merupakan orang-orang baik. Hanya saja, keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas penganut garis keras, yang aspirasinya dikucilkan dan di abaikan penguasa, ditambah oleh pola pikirnya yang simplistis, telah menjadikan mereka bersikap ekstrim, dan keras terhadap umat Islam.[16]
Sekte Khawarij
Pengikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berpikirnya. Jadi sikap keagamaan mereka sangat ekstrem dan sulit menerima perbedaan pendapat. Mereka menganggap orang yang berada di luar kelompoknya adalah kafir dan halal dibunuh. Sikap picik dan ekstrem ini pula yang membuat mereka terpecah menjadi beberapa sekte.[17]Al-Bagdadi mengatakan bahwa sekte ini telah pecah menjadi 20 subsekte. Harun mengatakan bahwa sekte ini telah pecah menjadi 18 subsekte. Adapun Al-Asfarayani, seperti dikutip Bagdadi, mengatakan bahwa sekte ini telah pecah menjadi 22 subsekte. Terlepas dari beberapa banyak subsekte pecahan khawarij, tokoh-tokoh yang disebutkan di atas sepakat bahwa subsekte khawarij yang besar hanya ada 6 sekte. [18]
Adapun sekte-sekte besar yang berkembang pada masa khawarij yaitu:
1. Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali, disebut golongan Al-Muhakkimah.[19] Sekte ini telah menggeser dan memperluas pengertian kafir. Istilah kafir dalam Al-Qur’an diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul Muhamad SAW, sedangkan sekte ini menggolongkan kafir kepada orang mukmin yang berbuat salah.[20]
2. Al-Azariqah
Golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar lagi kuat sesudah golongan Al-Muhakkimah hancur adalah golongan Al-Azariqah.[21]Dalam bidang teologi, sekte ini lebih radikal dari Al-Muhakkimah. Menurut prinsipnya, yang berbuat dosa bukan lagi disebut sebagai seorang kafir tapi sudah menjadi musyrik atau polities.[22]
3. Al-Nadjat
Najdah bin Ibn ‘Amir Al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri dengan golongan Al-Azariqah. Tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan. Golongan ini tidak menyetujui paham bahwa orang Azraqi yang tidak mau berhijrah kedalam lingkungan Al-Azariqah adalah musyrik. Akan tetapi mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, benar akan mendapatkan siksaan, tetapi bukan dalam neraka, dan kemudian akan masuk surga.
4. Al-Ajaridah
Mereka adalah pengikut dari Abd Al-Karim Ibn Ajrad. Menurut paham mereka, berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagai diajarkan oleh Nafi’ Ibn Al-Azraq dan Najdah, tetapi hanya merupakan kebajikan. Kaum Ajaridah boleh tinggal diluar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir.Harta boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta orang yang telah mati.
5. Al-Sufriah
Golongan ini merupakan golongan yang paling beda dari seluruh golongan Khawarij. Namanya diambil dari Abdullah Ibn Ibad yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan Al-Azariqah.
6. Al-Ibadiyah
Golongan ini merupakan golongan yang paling beda dari seluruh golongan Khawarij. Namanya diambil dari Abdullah Ibn Ibad yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan Al-Azariqah[23]
Tokoh khawarij
Tokoh-tokoh Dalam Aliran Khawarij: Urwah bin Hudair, Mustarid bin Sa’ad, Hausarah al-Asadi, Quraib bin Maruah, Nafi’ bin al-Azraq, dan ‘Abdullah bin Basyir.[24]
Khawarij Masa Kini
Setelah Ali terbunuh di tangan anggota Khawarij, bahaya Khawarij meningkat. Sisa-sisa pasukan mereka yang menyebar menggabungkan kekuatan menebarkan racun di kalangan muda dari umat ini, bahkan mereka membentuk kekuatan dalam negara Islam yang mengancam keamanan negara dan keselamatan kaum Muslimin. Kelompok ini tidak berhenti memerangi kaum Muslimin sejak saat itu hingga sekarang, sebagaimana yang dikabarkan Rasulullah kepada kita dan mereka menamai diri mereka dengan nama selainnya, padahal kenyataannya mereka hanyalah perluasan dari pendahulu Khawarij.[25]
Khawārij zaman sekarang tidak jauh berbeda dengan khawārij zaman dahulu. Walaupun sampai hari ini kelompok khawārij sudah tidak ada, namun warisan mereka berupa faham radikal telah berkembangan menjadi kelompok-kelompok lain dan mempengaruhi pola pikir sebagian umat Islam.[26] Sebagian dari kelompok ini ada yang memahami alquran dengan baik dan taat beribadah. Namun, secara batin mereka telah terpapar ekstrimisme, radikalisme, dan keyakinan-keyakinan yang merusak kerukunan umat Islam. Khawarij milenial lebih sering merasa benar dan kerap sekali menyalahkan yang lain. Mereka suka mencaki maki orang yang berbeda pandangan politik dan pemahaman Islam. Korbannyapun tidak hanya orang biasa, namun sudah mencakup tokoh-tokoh dan ulama besar di tanah air. [27]
Aliran Murjiah
Aliran Murji’ah merupakan aliran yang timbul setelah munculnya aliran khawarij. Pada mulanya aliran ini muncul karena persoalan politik terkait dengan perebutan kekuasaan yang timbul sejak wafatnya Utsman bin Affan sampai pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Aliran ini kemudian berubah menjadi aliran yang membahas masalah teologis terkait hukum Allah. Aliran ini muncul sebagai anti tesa dari Khawarij yang berbicara masalah seorang mukmin yang melakukan dosa besar.
Dalam masalah politik, Murji’ah juga bersikap netral. Mereka tidak memihak kepada salah satu pihak yang bertikai, antara ‘Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Tetapi menurut beberapa sumber, Murji’ah merupakan aliran bayangan dari dinasti Amawiyah. Aliran Khawarij yang mengkafirkan Mu’awiyah bin Abi Sufyan mendapat tantangan dari Murji’ah yang tidak menganggap Mu’awiyah sebagai kafir. Aliran Khawarij yang menganggap Mu’awiyah melakukan dosa besar dan menjadi kafir, sehingga ia merupakan ahli neraka ditentang oleh Murji’ah yang menganggap Mu’awiyah tetap mukmin dan ia tidak bisa divonis sebagai ahli neraka, sebab semua ketentuan dan ketetapan seseorang masuk surga atau neraka berada sepenuhnya di tangan Tuhan.[28]
Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan yang artinya memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat dari Allah. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pengikutnya di hari kiamat kelak.[29]
Doktrin-doktrin Pokok Murjiah
Berkaitan dengan doktrin teologi, ada beberapa pendapat mengenai ajaran pokok Murji’ah, yaitu:
Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokok Murjia’ah:
- Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
- Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim berdosa besar.
- Meletakkan (pentingnya) iman dari pad amal.
- Memberikan penghargaan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu, Abu ‘A’la Al-Mandudi menyebutkan dua doktrin Murji’ah:
- Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Amal atau perbuatan itu merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Seseorang dianggap mukmin walau meninggalkan perbuatan dosa besar.
- Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, maksiat tidak akan mendatangkan madharat atas seseorang untuk mendapatkan ampunan maka cukup menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.[30]
Sekte Murjiah
Beberapa ahli memiliki pendapat mengenai sekte-sekte Murji’ah diantara lain, ASy-Syahrastani menyebutkan bahwa sekte-sekte Murji’ah ada 5 dan Muhammad Imarah menyebutkan ada 12 sekte Murji’ah. Harun Nasution mengklasifikasikan Murji’ah menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka, karena menurut golongan ini iman adalah pengetahuan tentang Allah dan Rasul-Nya serta iman tidak bertambah dan juga berkurang, penggagas tersebut adalah Al-Hasan, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan ahli Hadits lainnya.
Adapun kelompok Murji’ah Ekstrim adalah:
- Jahmiyah, berpandangan orang yang percaya tuhan dan mengatakan kekufurannya secara lisan, maka tidak kafir karena iman dan kufur berada di dalam hati.
- Shalihiyah, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Allah, kufur adalah tidak tahuTuhan, ibadah adalah iman kepada Allah bukan sholat, begitu pula zakat, puasa, haji, itu hanyalah sekedar kepatuhan.
- Yunusiyah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa maksi atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang sebagai musyrik, walaupun sudah mati.
- Hasaniyah, menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan “Saya tahu Tuhan melarang saya memakan babi, tetapi saya tidak tahu babi yang diharamkan itu kambing ini” ataupun berkata “ Saya tahu Tuhan mewajibkan untuk naik Haji ke Ka’bah,tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain.” Maka orang-orang tersebut tetaplah mukmin.[31]
Penutup
Setelah membaca uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sejarah masalah kalam muncul pertama kali pada masa setelah wafatnya Rasulullah. Pada masa itu terjadi perdebatan terkait dengan masalah siapakah yang berhak menduduki kursi kekhalifahan khususnya setelah wafatnya Utsman bin Affan. Penolakan demi penolakan dirasakan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib hingga mengundang berbagai peperangan seperti perang jamal hingga siffin. Belum selesai sampai disitu, kemudian mulailah aliran-aliran bermunculan karena permasalahan politik kekuasaan tersebut. Salah satu aliran yang ada yaitu khawarij dan murjiah. Khawarij kental dengan ideologinya yang radikal menimbulkan doktrin-doktrin yang cenderung mudah mengkhafirkan orang yang tidak sejalan dengan mereka. Sedangkan murjiah cenderung dengan ideologinya yang netral dan menangguhkan segala keputusan terkait dengan hukum Allah. Mereka menganggap bahwa iman adalah hal yang utama dan mereka mengesampingkan amal perbuatan manusia. Meskipun tidak radikal hal ini dinilai sangat berbahaya karena menimbulkan kesan dosa tidak mempengaruhi apalagi membahayakan iman.
[1] Simuh, Pergolakan Pemikiran Dalam Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), hlm. 22.
[2] Ibid., hlm. 2.
[3] Ibid., hlm. 23.
[4] Tsuroya Kiswati, Ilmu kalam: Aliran Sekte, Tokoh Pemikiran, Dan Analisa Perbandingan Aliran Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya Press, 2013), hlm. 14.
[5] Rubini, “Khawarij dan Murji’ah Perspektif Ilmu Kalam”, Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam 7, no. 1 (Juni 2018): 99.
[6] Eri Susanti, “Aliran-Aliran Dalam Pemikiran Kalam”, Jurnal Ad-Dirasah 1, no. 1 (2018): 26.
[7] Loc. cit.
[8] Sukring, “Ideologi, Keyakinan, Doktrin dan Bid’ah Khawarij: Kajian Tentang Teologi Khawarij Zaman Modern”, Jurnal Theologia 27, no. 2 (Desember:2016): 420.
[9] Ibid., hlm. 421.
[10] Ibid., hlm. 422.
[11] Ibid., hlm. 423.
[12] Ibid.
[13] Rubini, Op. cit., hlm. 103.
[14] Sukring, Op. cit., hlm. 424.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Susanti, Op. cit., hlm. 27.
[18] Rubini, Op. cit., hlm. 104.
[19] Ibid., hlm. 105.
[20] Ris’an Rusli, Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-Tokohnya, Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 13.
[21] Rubini, Op. cit., hlm. 105.
[22] Rusli, Loc. cit.
[23] Rubini, Op. cit., hlm. 106.
[24] Susanti, Op. cit., hlm. 27.
[25] Abu Abdirrahman ‘Adil bin Ali Al-Furaidan, Sifat & Karakteristik Ekstrimis Khawarij, (n.p.: Maktabah Raudhah al Muhibbin, 2009), terjemahan oleh Ummu Abdillah al-Buthoniyah, hlm. 5.
[26] Ahmad Sudi Pratikno, “Khawarij Milenial: Transformasi Khawarij dari Masa Lampau Menuju Masa Sekarang”, Jurnal Auladuna 1, no. 1 (April 2019): hlm. 43.
[27] Loc. cit.
[28] Kiswati, Op. cit., hlm. 48.
[29] Rubini, Op. cit., hlm. 109.
[30] Ibid., hlm. 110.
[31] Ibid., hlm. 111.